Republik Rwanda
adalah negara kecil yang terletak di Timur-Tengah dari Afrika bertetangga
dengan Uganda, Burundi, the Democratic Republic of the Congo dan Tanzania. Dulu
Rwanda adalah salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan,
terjadilah suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia, yaitu suku
Hutu. Kalau kita lihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit,
bentuk tubuh maupun ukuran.
Tapi pada waktu
penjajahan Belgia, suku Hutu dianggap sebagai suku yang minoritas sedangkan
Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih “tinggi” eksistensinya. Itu semua hanya
karena suku Tutsi lebih terang, tinggi, langsing dan ukuran hidung mereka lebih
ramping dan mancung, sedangkan suku Hutu lebih berwarna hitam, agak pendek,
hidungnya besar dan pesek. Para Penjajah Belgia lebih memilih orang-orang Tutsi
untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang Hutu.
Mereka
mengerjakan Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” dan Hutu untuk “kerah biru”.
Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba kedua suku ini. Dan inilah awal
dari munculnya benih-benih kebencian, keirihatian, dan kecemburuan sosial yang
akut dan mengakar. Dan hal ini setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya di
Tahun 1994, memuncak ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk
membantai para “Cokroaches” / Tutsi, dan menyamakan mereka dengan tidak lebih
dari derajat seekor sapi untuk dibantai.
Dengan sandi “Lets
Cut The Tall Trees!!” mereka memulai pembantaian itu. Pada bulan Juli,
beberapa hari sebelum pembantaian tersebut, Presiden Rwanda yang baru saja
terpilih (suku Hutu) yang notabene menyetujui perjanjian damai Hutu-Tutsi,
dibunuh dalam pesawatnya, dengan roket, oleh kaum Tutsi (tapi ini hanya drama
yang dilakukan oleh Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai,
presiden tersebut mati di tangan Hutu aslinya). Akhirnya Pecahlah perang
Genosida tersebut, kaum-kaum Hutu turun ke jalan, membawa parang dan senjata,
atau apa saja yang bisa dipakai untuk membunuh kaum Tutsi. Dengan memakai
seragam kebanggaan mereka, mereka membantai siapa saja kaum Tutsi yang ada.
Operasi mereka
dimulai dengan sweeping massal kartu identitas warga negara Rwanda yang dimana
di kartu identitas tersebut ada cap besar untuk membedakan antara Hutu dan
Tutsi. Teror itu pecah dan menghantui rakyat yang tak berdaya, terutama suku
Tutsi dengan pasukannya, Interahamwe, para Hutu membantai para Tutsi.
Kurang lebih
250.000 suku Tutsi dibantai pada hari itu dan hampir 50.000 Suku Hutu tewas
karena juga terjadi perlawanan di pihak Tutsi oleh “Tutsi Rabels”. Total semua
korban yang tewas dari Genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkak
sampai angka 800.000 dan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa
melayang. Pada akhir teror tersebut, suku Tutsi berhasil membalas para militan Hutu,
dan mereka dapat menekan keberadaan suku Hutu sampai ke perbatasan Kongo, dan
setelah serangkaian perjanjian dan mandat, dengan bantuan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya perang saudara tersebut berhenti.
Negara Perancis
dituduh sudah membantu Rezim Hutu dalam operasi Turquoise, dan memang nyatanya
Perancis lah yang menyuplai senjata untuk Militan Hutu dan rezimnya. Setelah
itu diumumkanlah daftar kriminal Genosida oleh PBB, sebagian sudah tertangkap,
dan sebagian masih bebas berkeliaran.
1. Penyebab Timbulnya Konflik
Republik Rwanda
adalah sebuah negara di benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan
Republik Demokratik Kongo, Uganda, Burundi dan Tanzania. Penduduk asli Rwanda
terdiri dari tiga suku yaitu Tutsi, yang merupakan orang-orang dusun yang tiba
di Rwanda sejak abad ke-15. Suku Hutu, yang merupakan mayoritas penduduk,
merupakan petani asal Bantu. Hingga 1959, suku Hutu membentuk strata dominan di
bawah sistem feodal yang berdasarkan pada kepemilikan ternak. Suku Twa, yang
dipercayai merupakan sisa pemukim terawal di sini. Suku Twa dianggap yang
tertua, lalu orang Hutu dan kemudian Tutsi. Rwanda merupakan salah satu daerah
jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan, terjadilah suatu diversifikasi suku,
yang dilakukan oleh Belgia, yaitu suku Hutu.
Jika dilihat
sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran
yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. Tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku
Hutu dianggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku
yang lebih tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna
kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki
ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki
kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan
pesek.
Para penjajah
Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan
daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku
Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya
sedangkan untuk “kerah biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekerja kasar
diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di
Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba kedua suku ini.
Hal inilah yang
menjadi awal dari timbulnya benih-benih kebencian, keirihatian, dan kecemburuan
sosial yang akut dan mengakar. Menurut Simon Fisher dalam bukunya, Mengelola
konflik; Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, dalam teori Hubungan
Masyarakat disebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus
terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam
suatu masyarakat. Setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1994,
masalah ini kembali muncul sehingga menyebabkan timbulnya konflik ketika para
Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai kelompok Tutsi yang
disebut dengan “Cocoroaches”, dan menyamakan mereka dengan tidak lebih dari
derajat seekor sapi untuk dibantai. Dengan sandi “Lets Cut The Tall Trees!!”
mereka memulai pembantaian itu.
Bahkan ketika
pada bulan Juli 1994, beberapa hari sebelum pembantaian tersebut terjadi,
Presiden Rwanda yang baru saja terpilih (suku Hutu) dan telah menyetujui
perjanjian damai HUTU-TUTSI, dibunuh dalam pesawatnya, yang sebenarnya
dilakukan oleh kelompok Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para
pembantai dengan menyebarkan berita bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh
kelompok dari suku Tutsi. Upaya damai yang telah dilakukan oleh perwakilan dari
kedua suku tersebut pun gagal. Operasi mereka dimulai dengan sweeping masal
kartu identitas warga negara Rwanda yang dimana di kartu identitas tersebut
terdapat cap besar untuk membedakan antara Hutu dan Tutsi.
Selain itu
menurut teori Identitas, konflik juga disebabkan oleh identitas yang terancam
yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang
tidak diselesaikan. Jika dikaitkan dengan konflik yang terjadi di Rwanda antara
kedua kelompok suku tersebut, dapat dilihat bahwa diversivikasi dan
stratifikasi sosial yang terjadi antara Hutu dan Tutsi pada masa kolonialisasi
menimbulkan kesalahpahaman dan tidak adanya komunikasi yang baik antara kedua
suku tersebut. Dendam suku Hutu terhadap identitas dirinya sebagai penduduk
mayoritas yang terdiskriminasi di Rwanda belum terselesaikan hingga kini dan
menjadi penyebab utama timbulnya pembantaian terhadap suku Tutsi.
2. Eskalasi Konflik
Tidak adanya
komunikasi yang baik, diskriminasi pekerjaan, kecemburuan sosial, menyebabkan
kesenjangan yang terjadi antara kedua kelompok tersebut mengakar hingga saat
ini dan menimbulkan konflik yang sejak dulu ada kembali muncul ke permukaan.
Eskalasi konflik terjadi ketika kelompok suku Hutu sengaja melakukan pembunuhan
berencana terhadap presiden Habyarimana. Hal tersebut dilakukan oleh kelompok
suku Hutu untuk memancing kemarahan massa suku Hutu terhadap dendam yang selama
ini terpendam. Mereka dengan sengaja menyebarkan berita palsu bahwa pembunuhan
presiden yang juga berasal dari suku Hutu tersebut dibunuh oleh kelompok
pemberontak suku Tutsi.
Dengan
tersebarnya berita tersebut dikalangan masyarakat, menyebabkan suku Hutu
semakin marah dan mengupayakan tindakan balas dendam terhadap seluruh suku
Tutsi di Rwanda. Kurang Lebih 250.000 suku Tutsi dibantai di hari itu dan
hampir 50.000 jiwa yang berasal dari suku Hutu mati karena juga terjadi
perlawanan di pihak Tutsi oleh “TUTSI REBELS”. Total semua korban yang
mengalami kematian dari genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkak
sampai angka 800.000. Berdasarkan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa
melayang. Pada saat genosida ini berlangsung, para perempuan dari suku Tutsi di
perkosa lalu dibunuh. Mereka diperlakukan seperti binatang. Dilempari batu, di
perkosa dan di kandangkan.
3. Aktor dan Pihak yang berperan dalam konflik
Dalam
menganalisa kasus ini dapat dilihat dari peran-peran aktor yang bermain di
dalamnya. Terdapat 5 tingkatan analisa aktor menurut Mochtar Ma’soed yaitu
pertama, tingkat analisa sistem internasional; kedua, tingkat analisa kelompok
negara-bangsa atau regionalisme; ketiga, tingkat analisa negara atau bangsa;
keempat, tingkat analisa masyarakat atau kelompok individu; dan yang kelima
adalah tingkat analisa individu. Dalam konflik Rwanda ini dapat dilihat dengan
jelas bahwa aktor utama yang bertikai adalah aktor kelompok individu atau
masyarakat yang berasal dari suku Hutu dan Tutsi. Masyarakat merupakan salah
satu bagian penting dari sebuah negara. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah
suatu negara sangat ditentukan oleh suara dan opini dari masyarakat. Sebagai
suku mayoritas yang memiliki sejarah hitam di Rwanda akibat kolonialisme, Hutu
yang kini berhasil mengendalikan pemerintahan memanfaatkan wewenang untuk
melakukan pembantaian terhadap Tutsi.
Selain itu ada
juga aktor sistem internasional yaitu pasukan perdamaian PBB yang masuk ke
dalam Rwanda yang berperan untuk mencegah konflik menjadi semakin berkembang.
Sebagai organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara dunia, PBB
merupakan salah satu bentuk perwujudan sistem internasional. Segala tindakannya
selalu dipengaruhi oleh kebijakan dan keputusan bersama negara-negara
anggotanya. Namun sayangnya pasukan pedamaian PBB hanya masuk sebentar dan
kembali ke perbatasan. Seolah mereka membiarkan konflik yang tengah terjadi di
Rwanda.
Sebenarnya aktor
negara atau pemerintahan di Rwanda sendiri yang dikendalikan oleh suku Hutu
juga memiliki peran dalam terjadinya konflik tersebut. Semua pembuat keputusan
pada dasanya akan berperilaku sama apabila menghadapi situasi yang sama. Karena
itu analisis para ilmuwan seharusnya ditekankan pada perilaku unit
negara-bangsa. Pembunuhan presiden Habyarimana merupakan rekayasa yang telah
sengaja direncanakan oleh pemerintah Rwanda untuk melakukan aksi balas dendam
terhadap suku Tutsi. Analisa aktor selanjutnya lebih jelas dapat dilihat di
dalam film Hotel Rwanda bahwa terdapat peran aktor individu yaitu Paul
Rusesabagina yang diperankan oleh Don Cheadle sebagai pemilik hotel yang pada akhirnya
dijadikan tempat pengungsian dan berlindung para warga Tutsi dari genosida
massal yang dilakukan oleh suku Hutu.
4. Respon dunia internasional
Walaupun banyak
warga asing yang saat itu sedang berada di Rwanda, tetapi dunia seakan menutup
mata bahwa sebuah pembantaian suku sedang terjadi di abad 20, abad dimana
manusia mengagung-agungkan diri sebagai bangsa yang modern dan beradab. Seperti
yang digambarkan dalam film Hotel Rwanda, Joe pun berusaha menjemput Rachel,
seorang teman yang bekerja sebagai reporter BBC, dan seorang kameraman rekan
kerja Rachel. Idenya cukup bagus, yaitu Rachel bisa meliput soal terjebaknya
warga negara asing di tengah konflik berdarah Rwanda. Karena negara-negara
Barat tidak akan pernah peduli suku Tutsi sedang dibantai, tapi mereka akan
segera bertindak apabila tahu ada warga negaranya ada di dalamnya. Apapun
tujuannya, Joe sangat mengharapkan campur tangan internasional.
Di tengah
perjalanan pulang, mobil mereka dicegat Hutu. Hampir saja mereka dibunuh kalau
saja Francois tidak datang. Joe tahu Francois berasal dari suku Hutu, tapi ia
tidak sangka kalau teman baiknya itu akan datang dengan membawa parang
berlumuran darah, dengan tawa tersungging di bibirnya. Berkat Francois, Hutu
yang lain mengizinkan Joe pergi. Disepanjang jalan mereka melihat mayat-mayat
suku Tutsi bergeletakan, dikerubuti lalat.
Setelah Rachel
selesai meliput dari sisi warga Rwanda dan PBB, pasukan perdamaian lain datang.
Sayangnya, mereka tidak datang untuk menyelamatkan Tutsi, tapi untuk menjemput
warga negara asing, terutama Perancis. Joe dan Christopher memilih untuk tetap
berada di sekolah itu, sedangkan Rachel ikut pergi. Malam sebelumnya, Rachel
sempat bercerita bahwa ia menangis setiap hari ketika meliput Perang Bosnia,
1992. Namun ada dua cara agar tetap bertahan, ”I could think that i could be
one of them (who died), or i can think they’re just dead africans” Begitu usaha
Rachel tetap berpegang pada tujuan profesinya dan tidak terpengaruh emosi di
lapangan.
5. Hambatan Penanganan Konflik
Dalam konflik
yang terjadi antara suku Hutu dan Tutsi ini, humanitarian intervension yang
dilakukan oleh PBB dapat dikatakan gagal. Hal ini dapat terjadi karena tidak
adanya dukungan dari pemerintah Rwanda dan masyrakat Rwanda sendiri yang
mayoritas adalah suku Hutu. Mereka dengan sengaja mengusir pasukan perdamaian
PBB dari Rwanda. Sebagai organisasi internasional, PBB tidak dapat melakukan
apa-apa jika Rwanda telah menolak mandat yang diberikan PBB di dalam wilayah
kedaulatannya. Tidak hanya itu, masyarakat Hutu yang tidak memihak terhadap
aksi balas dendam ini pun ikut menjadi sasaran keganasan suku Hutu.
Perancis-Rwanda Pulihkan Hubungan Diplomatik
Hubungan
Diplomatik antara Perancis-Rwanda sempat terputus sejak tahun 2006 lalu, saat
Hakim Perancis mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap orang-orang
yang terlibat dalam pembantaian di Rwanda pada tahun 1994. Paul Kagame dituding
sebagai dalang dari penembakan roket ke pesawat presiden Rwanda Juvenal
Habyarimana pada 6 April 1994 silam. Beberapa awak dari pesawat tersebut
merupakan warga Perancis dan keluarga mereka menuntut serta membawa perkara
tersebut ke pengadilan Perancis. Namun, di lain pihak pemerintah Rwanda yang
beribukota di Kagali menuding Perancis sebagai dalang dari pembantaian etnis Tutsi
dan Hutu moderat. Pemerintah Rwanda juga menuding Perancis membantu pelolosan
beberapa tokoh penting yang telibat dalam pembantain di Rwanda. Sedangkan
pengadilan Perancis tidak dapat membuktikan keterlibatan Kagame dalam
penembakan roket ke Pesawat keperesidenan Rwanda pada tahun 1994 silam. Sejak
saat itu hubungan Perancis-Rwanda memburuk dan puncaknya pada tahun 2006,
pemerintah Rwanda memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Perancis.
Pemulihan
hubungan diplomatik Perancis-Rwanda saat ini dianggap langkah yang baik bagi
hubungan ke-dua negara ini. Pemerintah Perancis melalui staf kepresidenannya
Claude Guaent menyatakan bahwa presiden Rwanda, Paul Kagame memutuskan untuk
memulihkan hubungan ke-dua negara tersebut. Itikad baik tersebut juga di sambut
oleh Presiden Perancis Nicholas Sarkozy. Terbukti pada tanggal 25/2 Sarkozy
mengunjungi museum peringatan genosida Rwanda di Kagali. Sarkozy menjadi
presiden pertama Perancis yang pernah bertandang ke Rwanda.
Pemutusan
hubungan diplomatik tidak dengan mudah diambil oleh Pemerintah Perancis, begitu
juga dengan pemerintah Rwanda. Banyak hal yang harus dipikirkan untuk
memutuskan hubungan diplomatik. Seperti yang kita pelajari dalam politik luar
negeri, untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan suatu negara pemerintah
negara tersebut harus siap akan segala dampak serta kerugian yang akan mereka
dapatkan. Pemutusan hubungan diplomatik ditandai degan penutupan kedutaan besar
dan penarikan utusan-utusan (envoy) dari negara yang bersangkutan. Namun, tidak
menutup kemungkinan bagi ke-dua negara tersebut mengadakan kerjasama. Kerjasama
tersebut tidak melalui negara sebagai aktor utamanya, bisa dilakukan oleh aktor
non-negara.
Dalam pemulihan
hubungan ini, sangat terlihat adanya hubungan yang saling menguntungkan antara
ke-dua negara tersebut dari berbagai sektor. Jika hubungan diplomatik anatara
negara membaik berarti trust antara kedua negara tersebut telah pulih. Ini
berarti kebijakan politik luar negeri Rwanda terhadap Perancis telah berubah
sejak dibukannya kembali hubungan antara ke-dua negara ini, dengan menempatkan
perwakilan negara serta pembukaan kembali kedutaan besar di-kedua negara
tersebut. Pada dasarnya setiap negara memiliki national interest yang ingin
dicapai, oleh karena itu wajar kalau Rwanda memutuskan memulihkan hubungannya
dengan Perancis, begitu juga dengan pemerintah Perancis.
Kesimpulan
Dengan melihat
konflik antar etnis yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa bentuk kolonialisasi yang tidak terarah seperti yang
dilakukan Belgia hanya akan meninggalkan bekas luka di dalam hati dan kehidupan
suku Hutu sehingga memicu timbulnya perpecahan. Sebagai sesama manusia kita
memiliki banyak kekurangan dan juga kelebihan yang telah diberikan oleh Tuhan.
Tidak ada manusia yang sempurna untuk itu klasifikasi, diversivikasi, dan
stratifikasi terhadap suatu kelompok etnis, ataupun ras, adalah hal-hal yang
tidak sepantasnya dilakukan di dalam kehidupan bersosial umat manusia. Hal
tersebut hanya akan menjadikan api dalam sekam yang suatu saat akan meledak ke
berbagai arah.
Masih banyak film-film lain yang memiliki unsur edukasi dan dibuat berdasarkan
fakta dan peristiwa yang pernah terjadi. Film seperti itulah yang sangat bagus
untuk ditonton. Banyak intisari yang dapat di ambil dan dijadikan sebagai
pelajaran hidup