Translate:

Desain Interior Gokil #1

1. Tempat Tidur Aquarium.


2. Lampu Gantung yg membawa anda ke suasana seperti di hutan.


3. Kolam Renang indoor dan outdoor.


4. Meja dan Kursi makan yg didesain layaknya ayunan.


5. Pasir Pantai dibawah meja kerja.


6. Tangga yg didesain unik seperti spiral.


7. Saluran untuk berjalan kucing.


8. Lantai Toilet yg beralaskan kaca.


9. Meja makan yg bisa dijadikan sebagai meja billiard.


10. Tempat Tidur Gantung.


11. Penyimpanan bawah tangga.
 

Flappy Bird 2 Bisa Multiplayer !?

(Foto: Product-reviews)
Flappy Bird sempat menjadi game mobile terpopuler beberapa bulan lalu. Game yang paling banyak diunduh ini kemudian dihilangkan dari Play Store oleh developernya dan kini tampil dengan seri terbaru, Flappy Bird 2.

Dilansir Product-reviews, Kamis (15/5/2014), developer Dong Nguyen menarik Flappy Bird yang membuatnya kaya dengan penghasilan USD50 ribu per hari. Dong akan meluncurkan Flappy Bird 2 yang direncanakan pada Agustus tahun ini.

Belum diketahui kepastian tanggal rilisnya. Game tersebut akan dapat dimainkan di OS Android dan iOS. Kabar yang beredar menyebutkan, permainan burung terbang ini akan menampilkan modus multiplayer.

Dong tidak menyangka bahwa game Flappy Bird awal membuat banyak orang adiktif. Di seri terbaru Flappy Bird, ia mengungkap bahwa game ini 'less addictive' atau tidak membuat ketagihan.

Namun, siapa yang bisa membuktikan sebelum rilisnya game terbaru tersebut pada Agustus nanti? Seperti diketahui, lebih dari 50 juta orang telah mengunduh Flappy Birds.

Sumber: http://techno.okezone.com/read/2014/05/15/326/985379/flappy-bird-2-tampilkan-modus-multiplayer
 

Konflik Hutu dan Tutsi di Rwanda

Republik Rwanda adalah negara kecil yang terletak di Timur-Tengah dari Afrika bertetangga dengan Uganda, Burundi, the Democratic Republic of the Congo dan Tanzania. Dulu Rwanda adalah salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan, terjadilah suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia, yaitu suku Hutu. Kalau kita lihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran.
Tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu dianggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih “tinggi” eksistensinya. Itu semua hanya karena suku Tutsi lebih terang, tinggi, langsing dan ukuran hidung mereka lebih ramping dan mancung, sedangkan suku Hutu lebih berwarna hitam, agak pendek, hidungnya besar dan pesek. Para Penjajah Belgia lebih memilih orang-orang Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang Hutu.
Mereka mengerjakan Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” dan Hutu untuk “kerah biru”. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba kedua suku ini. Dan inilah awal dari munculnya benih-benih kebencian, keirihatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Dan hal ini setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya di Tahun 1994, memuncak ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai para “Cokroaches” / Tutsi, dan menyamakan mereka dengan tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai.
Dengan sandi “Lets Cut The Tall Trees!!” mereka memulai pembantaian itu. Pada bulan Juli, beberapa hari sebelum pembantaian tersebut, Presiden Rwanda yang baru saja terpilih (suku Hutu) yang notabene menyetujui perjanjian damai Hutu-Tutsi, dibunuh dalam pesawatnya, dengan roket, oleh kaum Tutsi (tapi ini hanya drama yang dilakukan oleh Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai, presiden tersebut mati di tangan Hutu aslinya). Akhirnya Pecahlah perang Genosida tersebut, kaum-kaum Hutu turun ke jalan, membawa parang dan senjata, atau apa saja yang bisa dipakai untuk membunuh kaum Tutsi. Dengan memakai seragam kebanggaan mereka, mereka membantai siapa saja kaum Tutsi yang ada.
Operasi mereka dimulai dengan sweeping massal kartu identitas warga negara Rwanda yang dimana di kartu identitas tersebut ada cap besar untuk membedakan antara Hutu dan Tutsi. Teror itu pecah dan menghantui rakyat yang tak berdaya, terutama suku Tutsi dengan pasukannya, Interahamwe, para Hutu membantai para Tutsi.
Kurang lebih 250.000 suku Tutsi dibantai pada hari itu dan hampir 50.000 Suku Hutu tewas karena juga terjadi perlawanan di pihak Tutsi oleh “Tutsi Rabels”. Total semua korban yang tewas dari Genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000 dan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada akhir teror tersebut, suku Tutsi berhasil membalas para militan Hutu, dan mereka dapat menekan keberadaan suku Hutu sampai ke perbatasan Kongo, dan setelah serangkaian perjanjian dan mandat, dengan bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya perang saudara tersebut berhenti.
Negara Perancis dituduh sudah membantu Rezim Hutu dalam operasi Turquoise, dan memang nyatanya Perancis lah yang menyuplai senjata untuk Militan Hutu dan rezimnya. Setelah itu diumumkanlah daftar kriminal Genosida oleh PBB, sebagian sudah tertangkap, dan sebagian masih bebas berkeliaran.



1. Penyebab Timbulnya Konflik
Republik Rwanda adalah sebuah negara di benua Afrika bagian tengah yang berbatasan dengan Republik Demokratik Kongo, Uganda, Burundi dan Tanzania. Penduduk asli Rwanda terdiri dari tiga suku yaitu Tutsi, yang merupakan orang-orang dusun yang tiba di Rwanda sejak abad ke-15. Suku Hutu, yang merupakan mayoritas penduduk, merupakan petani asal Bantu. Hingga 1959, suku Hutu membentuk strata dominan di bawah sistem feodal yang berdasarkan pada kepemilikan ternak. Suku Twa, yang dipercayai merupakan sisa pemukim terawal di sini. Suku Twa dianggap yang tertua, lalu orang Hutu dan kemudian Tutsi. Rwanda merupakan salah satu daerah jajahan Belgia. Pada jaman penjajahan, terjadilah suatu diversifikasi suku, yang dilakukan oleh Belgia, yaitu suku Hutu.
Jika dilihat sekilas hampir tak ada perbedaan dalam warna kulit, bentuk tubuh maupun ukuran yang dimiliki oleh suku-suku tersebut. Tapi pada waktu penjajahan Belgia, suku Hutu dianggap sebagai suku yang minoritas sedangkan Tutsi dianggap sebagai suku yang lebih tinggi eksistensinya. Hal tersebut karena suku Tutsi memiliki warna kulit yang lebih terang, postur tubuh yang tinggi, langsing dan juga memiliki ukuran hidung yang lebih ramping dan mancung. Sedangkan suku Hutu memiliki kulit yang berwarna lebih hitam, postur yang agak pendek, hidungnya besar dan pesek.
Para penjajah Belgia lebih memilih orang-orang dari suku Tutsi untuk menjalankan pemerintahan daripada orang-orang yang berasal dari suku Hutu. Mereka mempekerjakan suku Tutsi untuk pekerjaan “kerah putih” yaitu pekerjaan yang lebih tinggi posisinya sedangkan untuk “kerah biru” yaitu posisi yang lebih rendah, dan pekerja kasar diberikan kepada suku Hutu yang sebenarnya merupakan penduduk mayoritas di Rwanda. Secara tidak langsung, Belgia mengadu domba kedua suku ini.
Hal inilah yang menjadi awal dari timbulnya benih-benih kebencian, keirihatian, dan kecemburuan sosial yang akut dan mengakar. Menurut Simon Fisher dalam bukunya, Mengelola konflik; Keterampilan & Strategi untuk Bertindak, dalam teori Hubungan Masyarakat disebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. Setelah beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1994, masalah ini kembali muncul sehingga menyebabkan timbulnya konflik ketika para Militan Hutu mengadakan genosida massal untuk membantai kelompok Tutsi yang disebut dengan “Cocoroaches”, dan menyamakan mereka dengan tidak lebih dari derajat seekor sapi untuk dibantai. Dengan sandi “Lets Cut The Tall Trees!!” mereka memulai pembantaian itu.
Bahkan ketika pada bulan Juli 1994, beberapa hari sebelum pembantaian tersebut terjadi, Presiden Rwanda yang baru saja terpilih (suku Hutu) dan telah menyetujui perjanjian damai HUTU-TUTSI, dibunuh dalam pesawatnya, yang sebenarnya dilakukan oleh kelompok Hutu itu sendiri untuk memanaskan adrenalin para pembantai dengan menyebarkan berita bahwa pembunuhan tersebut dilakukan oleh kelompok dari suku Tutsi. Upaya damai yang telah dilakukan oleh perwakilan dari kedua suku tersebut pun gagal. Operasi mereka dimulai dengan sweeping masal kartu identitas warga negara Rwanda yang dimana di kartu identitas tersebut terdapat cap besar untuk membedakan antara Hutu dan Tutsi.
Selain itu menurut teori Identitas, konflik juga disebabkan oleh identitas yang terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan. Jika dikaitkan dengan konflik yang terjadi di Rwanda antara kedua kelompok suku tersebut, dapat dilihat bahwa diversivikasi dan stratifikasi sosial yang terjadi antara Hutu dan Tutsi pada masa kolonialisasi menimbulkan kesalahpahaman dan tidak adanya komunikasi yang baik antara kedua suku tersebut. Dendam suku Hutu terhadap identitas dirinya sebagai penduduk mayoritas yang terdiskriminasi di Rwanda belum terselesaikan hingga kini dan menjadi penyebab utama timbulnya pembantaian terhadap suku Tutsi.

2. Eskalasi Konflik
Tidak adanya komunikasi yang baik, diskriminasi pekerjaan, kecemburuan sosial, menyebabkan kesenjangan yang terjadi antara kedua kelompok tersebut mengakar hingga saat ini dan menimbulkan konflik yang sejak dulu ada kembali muncul ke permukaan. Eskalasi konflik terjadi ketika kelompok suku Hutu sengaja melakukan pembunuhan berencana terhadap presiden Habyarimana. Hal tersebut dilakukan oleh kelompok suku Hutu untuk memancing kemarahan massa suku Hutu terhadap dendam yang selama ini terpendam. Mereka dengan sengaja menyebarkan berita palsu bahwa pembunuhan presiden yang juga berasal dari suku Hutu tersebut dibunuh oleh kelompok pemberontak suku Tutsi.
Dengan tersebarnya berita tersebut dikalangan masyarakat, menyebabkan suku Hutu semakin marah dan mengupayakan tindakan balas dendam terhadap seluruh suku Tutsi di Rwanda. Kurang Lebih 250.000 suku Tutsi dibantai di hari itu dan hampir 50.000 jiwa yang berasal dari suku Hutu mati karena juga terjadi perlawanan di pihak Tutsi oleh “TUTSI REBELS”. Total semua korban yang mengalami kematian dari genosida tersebut adalah 500.000 jiwa dan membengkak sampai angka 800.000. Berdasarkan perhitungan bruto akhir adalah 1.000.000 jiwa melayang. Pada saat genosida ini berlangsung, para perempuan dari suku Tutsi di perkosa lalu dibunuh. Mereka diperlakukan seperti binatang. Dilempari batu, di perkosa dan di kandangkan.

3. Aktor dan Pihak yang berperan dalam konflik
Dalam menganalisa kasus ini dapat dilihat dari peran-peran aktor yang bermain di dalamnya. Terdapat 5 tingkatan analisa aktor menurut Mochtar Ma’soed yaitu pertama, tingkat analisa sistem internasional; kedua, tingkat analisa kelompok negara-bangsa atau regionalisme; ketiga, tingkat analisa negara atau bangsa; keempat, tingkat analisa masyarakat atau kelompok individu; dan yang kelima adalah tingkat analisa individu. Dalam konflik Rwanda ini dapat dilihat dengan jelas bahwa aktor utama yang bertikai adalah aktor kelompok individu atau masyarakat yang berasal dari suku Hutu dan Tutsi. Masyarakat merupakan salah satu bagian penting dari sebuah negara. Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah suatu negara sangat ditentukan oleh suara dan opini dari masyarakat. Sebagai suku mayoritas yang memiliki sejarah hitam di Rwanda akibat kolonialisme, Hutu yang kini berhasil mengendalikan pemerintahan memanfaatkan wewenang untuk melakukan pembantaian terhadap Tutsi.
Selain itu ada juga aktor sistem internasional yaitu pasukan perdamaian PBB yang masuk ke dalam Rwanda yang berperan untuk mencegah konflik menjadi semakin berkembang. Sebagai organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara dunia, PBB merupakan salah satu bentuk perwujudan sistem internasional. Segala tindakannya selalu dipengaruhi oleh kebijakan dan keputusan bersama negara-negara anggotanya. Namun sayangnya pasukan pedamaian PBB hanya masuk sebentar dan kembali ke perbatasan. Seolah mereka membiarkan konflik yang tengah terjadi di Rwanda.
Sebenarnya aktor negara atau pemerintahan di Rwanda sendiri yang dikendalikan oleh suku Hutu juga memiliki peran dalam terjadinya konflik tersebut. Semua pembuat keputusan pada dasanya akan berperilaku sama apabila menghadapi situasi yang sama. Karena itu analisis para ilmuwan seharusnya ditekankan pada perilaku unit negara-bangsa. Pembunuhan presiden Habyarimana merupakan rekayasa yang telah sengaja direncanakan oleh pemerintah Rwanda untuk melakukan aksi balas dendam terhadap suku Tutsi. Analisa aktor selanjutnya lebih jelas dapat dilihat di dalam film Hotel Rwanda bahwa terdapat peran aktor individu yaitu Paul Rusesabagina yang diperankan oleh Don Cheadle sebagai pemilik hotel yang pada akhirnya dijadikan tempat pengungsian dan berlindung para warga Tutsi dari genosida massal yang dilakukan oleh suku Hutu.

4. Respon dunia internasional
Walaupun banyak warga asing yang saat itu sedang berada di Rwanda, tetapi dunia seakan menutup mata bahwa sebuah pembantaian suku sedang terjadi di abad 20, abad dimana manusia mengagung-agungkan diri sebagai bangsa yang modern dan beradab. Seperti yang digambarkan dalam film Hotel Rwanda, Joe pun berusaha menjemput Rachel, seorang teman yang bekerja sebagai reporter BBC, dan seorang kameraman rekan kerja Rachel. Idenya cukup bagus, yaitu Rachel bisa meliput soal terjebaknya warga negara asing di tengah konflik berdarah Rwanda. Karena negara-negara Barat tidak akan pernah peduli suku Tutsi sedang dibantai, tapi mereka akan segera bertindak apabila tahu ada warga negaranya ada di dalamnya. Apapun tujuannya, Joe sangat mengharapkan campur tangan internasional.
Di tengah perjalanan pulang, mobil mereka dicegat Hutu. Hampir saja mereka dibunuh kalau saja Francois tidak datang. Joe tahu Francois berasal dari suku Hutu, tapi ia tidak sangka kalau teman baiknya itu akan datang dengan membawa parang berlumuran darah, dengan tawa tersungging di bibirnya. Berkat Francois, Hutu yang lain mengizinkan Joe pergi. Disepanjang jalan mereka melihat mayat-mayat suku Tutsi bergeletakan, dikerubuti lalat.
Setelah Rachel selesai meliput dari sisi warga Rwanda dan PBB, pasukan perdamaian lain datang. Sayangnya, mereka tidak datang untuk menyelamatkan Tutsi, tapi untuk menjemput warga negara asing, terutama Perancis. Joe dan Christopher memilih untuk tetap berada di sekolah itu, sedangkan Rachel ikut pergi. Malam sebelumnya, Rachel sempat bercerita bahwa ia menangis setiap hari ketika meliput Perang Bosnia, 1992. Namun ada dua cara agar tetap bertahan, ”I could think that i could be one of them (who died), or i can think they’re just dead africans” Begitu usaha Rachel tetap berpegang pada tujuan profesinya dan tidak terpengaruh emosi di lapangan.

5. Hambatan Penanganan Konflik
Dalam konflik yang terjadi antara suku Hutu dan Tutsi ini, humanitarian intervension yang dilakukan oleh PBB dapat dikatakan gagal. Hal ini dapat terjadi karena tidak adanya dukungan dari pemerintah Rwanda dan masyrakat Rwanda sendiri yang mayoritas adalah suku Hutu. Mereka dengan sengaja mengusir pasukan perdamaian PBB dari Rwanda. Sebagai organisasi internasional, PBB tidak dapat melakukan apa-apa jika Rwanda telah menolak mandat yang diberikan PBB di dalam wilayah kedaulatannya. Tidak hanya itu, masyarakat Hutu yang tidak memihak terhadap aksi balas dendam ini pun ikut menjadi sasaran keganasan suku Hutu.
Perancis-Rwanda Pulihkan Hubungan Diplomatik
Hubungan Diplomatik antara Perancis-Rwanda sempat terputus sejak tahun 2006 lalu, saat Hakim Perancis mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembantaian di Rwanda pada tahun 1994. Paul Kagame dituding sebagai dalang dari penembakan roket ke pesawat presiden Rwanda Juvenal Habyarimana pada 6 April 1994 silam. Beberapa awak dari pesawat tersebut merupakan warga Perancis dan keluarga mereka menuntut serta membawa perkara tersebut ke pengadilan Perancis. Namun, di lain pihak pemerintah Rwanda yang beribukota di Kagali menuding Perancis sebagai dalang dari pembantaian etnis Tutsi dan Hutu moderat. Pemerintah Rwanda juga menuding Perancis membantu pelolosan beberapa tokoh penting yang telibat dalam pembantain di Rwanda. Sedangkan pengadilan Perancis tidak dapat membuktikan keterlibatan Kagame dalam penembakan roket ke Pesawat keperesidenan Rwanda pada tahun 1994 silam. Sejak saat itu hubungan Perancis-Rwanda memburuk dan puncaknya pada tahun 2006, pemerintah Rwanda memutuskan hubungan diplomatiknya dengan Perancis.
Pemulihan hubungan diplomatik Perancis-Rwanda saat ini dianggap langkah yang baik bagi hubungan ke-dua negara ini. Pemerintah Perancis melalui staf kepresidenannya Claude Guaent menyatakan bahwa presiden Rwanda, Paul Kagame memutuskan untuk memulihkan hubungan ke-dua negara tersebut. Itikad baik tersebut juga di sambut oleh Presiden Perancis Nicholas Sarkozy. Terbukti pada tanggal 25/2 Sarkozy mengunjungi museum peringatan genosida Rwanda di Kagali. Sarkozy menjadi presiden pertama Perancis yang pernah bertandang ke Rwanda.
Pemutusan hubungan diplomatik tidak dengan mudah diambil oleh Pemerintah Perancis, begitu juga dengan pemerintah Rwanda. Banyak hal yang harus dipikirkan untuk memutuskan hubungan diplomatik. Seperti yang kita pelajari dalam politik luar negeri, untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan suatu negara pemerintah negara tersebut harus siap akan segala dampak serta kerugian yang akan mereka dapatkan. Pemutusan hubungan diplomatik ditandai degan penutupan kedutaan besar dan penarikan utusan-utusan (envoy) dari negara yang bersangkutan. Namun, tidak menutup kemungkinan bagi ke-dua negara tersebut mengadakan kerjasama. Kerjasama tersebut tidak melalui negara sebagai aktor utamanya, bisa dilakukan oleh aktor non-negara.
Dalam pemulihan hubungan ini, sangat terlihat adanya hubungan yang saling menguntungkan antara ke-dua negara tersebut dari berbagai sektor. Jika hubungan diplomatik anatara negara membaik berarti trust antara kedua negara tersebut telah pulih. Ini berarti kebijakan politik luar negeri Rwanda terhadap Perancis telah berubah sejak dibukannya kembali hubungan antara ke-dua negara ini, dengan menempatkan perwakilan negara serta pembukaan kembali kedutaan besar di-kedua negara tersebut. Pada dasarnya setiap negara memiliki national interest yang ingin dicapai, oleh karena itu wajar kalau Rwanda memutuskan memulihkan hubungannya dengan Perancis, begitu juga dengan pemerintah Perancis. 

Kesimpulan

Dengan melihat konflik antar etnis yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994 tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa bentuk kolonialisasi yang tidak terarah seperti yang dilakukan Belgia hanya akan meninggalkan bekas luka di dalam hati dan kehidupan suku Hutu sehingga memicu timbulnya perpecahan. Sebagai sesama manusia kita memiliki banyak kekurangan dan juga kelebihan yang telah diberikan oleh Tuhan. Tidak ada manusia yang sempurna untuk itu klasifikasi, diversivikasi, dan stratifikasi terhadap suatu kelompok etnis, ataupun ras, adalah hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan di dalam kehidupan bersosial umat manusia. Hal tersebut hanya akan menjadikan api dalam sekam yang suatu saat akan meledak ke berbagai arah.
Masih banyak film-film lain yang memiliki unsur edukasi dan dibuat berdasarkan fakta dan peristiwa yang pernah terjadi. Film seperti itulah yang sangat bagus untuk ditonton. Banyak intisari yang dapat di ambil dan dijadikan sebagai pelajaran hidup
 

Cara Hidup & Alat-alat Zaman Neolitikum

Ada dikatakan bahwa neolithikum itu adalah suatu revolusi yang sangat besar dalam peradaban manusia. Perubahan besar ini ditandai dengan berubahnya peradaban penghidupan food-gathering menjadi foodproducing. Pada saat orang sudah mengenal bercocok tanam dan berternak. Pertanian yang mereka selenggarakan mula-mula bersifat primitif dan hanya dilakukan di tanah-tanah kering saja. Pohon-pohon dari beberapa bagian hutan di kelupak kulitnya dan kemudian dibakar. Tanah-tanah yang baru dibuka untuk pertanian semacam itu untuk beberapa kali berturut-turut ditanami dan sesudah itu ditinggalkan.
Orang-orang Indonesia zaman neolithikum membentuk masyarakat-masyarakat dengan pondok-pondok mereka berbentuk persegi siku-siku dan didirikan atas tiang-tiang kayu, dinding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah-indah, Walaupun alat-alat mereka masih dibuat daripada batu, tetapi alat-alat itu dibuat dengan halus, bahkan juga sudah dipoles pada kedua belah mukanya.
A. CARA HIDUP
Cara hidup zaman neolithikum membawa perubahan-perubahan besar, karena pada zaman itu manusia mulai hidup berkelompok kemudian menetap dan tinggal bersama dalam kampung. Berarti pembentukan suatu masyarakat yang memerlukan segala peraturan kerja sama. Pembagian kerja memungkinkan perkembangan berbagai macam dan cara penghidupan di dalam ikatan kerjasama itu. Dapat dikatakan pada zaman neolithikum itu terdapat dasar-dasar pertama untuk penghidupan manusia sebagai manusia, sebagaimana kita dapatkan sekarang.
B. ALAT-ALAT ZAMAN NEOLITIKUM
Pada zaman neolithicum ini alat-alat terbuat dari batu yang sudah dihaluskan.
•Pahat Segi Panjang
Daerah asal kebudayaan pahat segi panjang ini meliputi Tiongkok Tengah dan Selatan, daerah Hindia Belakang sampai ke daerah sungai gangga di India, selanjutnya sebagian besar dari Indonesia, kepulauan Philipina, Formosa, kepulauan Kuril dan Jepang.
•Kapak Persegi

Asal-usul penyebaran kapak persegi melalui suatu migrasi bangsa Asia ke Indonesia. Nama kapak persegi diberikan oleh Van Heine Heldern atas dasar penampang lintangnya yang berbentuk persegi panjang atau trapesium. Penampang kapak persegi tersedia dalam berbagai ukuran, ada yang besar dan kecil. Yang ukuran besar lazim disebut dengan beliung dan fungsinya sebagai cangkul/pacul. Sedangkan yang ukuran kecil disebut dengan Tarah/Tatah dan fungsinya sebagai alat pahat/alat untuk mengerjakan kayu sebagaimana lazimnya pahat.
Bahan untuk membuat kapak tersebut selain dari batu biasa, juga dibuat dari batu api/chalcedon. Kemungkinan besar kapak yang terbuat dari calsedon hanya dipergunakan sebagai alat upacara keagamaan, azimat atau tanda kebesaran. Kapak jenis ini ditemukan di daerahi Sumatera, Jawa, bali, Nusatenggara, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan.
•Kapak Lonjong

Sebagian besar kapak lonjong dibuat dari batu kali, dan warnanya kehitam-hitaman. Bentuk keseluruhan dari kapak tersebut adalah bulat telur dengan ujungnya yang lancip menjadi tempat tangkainya, sedangkan ujung lainnya diasah hingga tajam. Untuk itu bentuk keseluruhan permukaan kapak lonjong sudah diasah halus.
Ukuran yang dimiliki kapak lonjong yang besar lazim disebut dengan Walzenbeil dan yang kecil disebut dengan Kleinbeil, sedangkan fungsi kapak lonjong sama dengan kapak persegi. Daerah penyebaran kapak lonjong adalah Minahasa, Gerong, Seram, Leti, Tanimbar dan Irian. Dari Irian kapak lonjong tersebar meluas sampai di Kepulauan Melanesia, sehingga para arkeolog menyebutkan istilah lain dari kapak lonjong dengan sebutan Neolithikum Papua.
•Kapak Bahu
Kapak jenis ini hampir sama seperti kapak persegi ,hanya saja di bagian yang diikatkan pada tangkainya diberi leher. Sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi. Daerah kebudayaan kapak bahu ini meluas dari Jepang, Formosa, Filipina terus ke barat sampai sungai Gangga. Tetapi anehnya batas selatannya adalah bagian tengah Malaysia Barat. Dengan kata lain di sebelah Selatan batas ini tidak ditemukan kapak bahu, jadi neolithikum Indonesia tidak mengenalnya, meskipun juga ada beberapa buah ditemukan yaitu di Minahasa.
•Perhiasan (gelang dan kalung dari batu indah)
Jenis perhiasan ini banyak di temukan di wilayah jawa terutama gelang-gelang dari batu indah dalam jumlah besar walaupun banyak juga yang belum selesai pembuatannya. Bahan utama untuk membuat benda ini di bor dengan gurdi kayu dan sebagai alat abrasi (pengikis) menggunakan pasir. Selain gelang ditemukan juga alat-alat perhisasan lainnya seperti kalung yang dibuat dari batu indah pula. Untuk kalung ini dipergunakan juga batu-batu yang dicat atau batu-batu akik.
•Pakaian dari kulit kayu
Pada zaman ini mereka telah dapat membuat pakaiannya dari kulit kayu yang sederhana yang telah di perhalus. Pekerjaan membuat pakaian ini merupakan pekerjaan kaum perempuan. Pekerjaan tersebut disertai pula berbagai larangan atau pantangan yang harus di taati. Sebagai contoh di Kalimantan dan Sulawesi Selatan dan beberapa tempat lainnya ditemukan alat pemukul kulit kayu. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang zaman neolithikum sudah berpakaian.
•Tembikar (Periuk belanga)

Bekas-bekas yang pertama ditemukan tentang adanya barang-barang tembikar atau periuk belanga terdapat di lapisan teratas dari bukit-bukit kerang di Sumatra, tetapi yang ditemukan hanya berupa pecahan-pecahan yang sangat kecil. Walaupun bentuknya hanya berupa pecahan-pecahan kecil tetapi sudah dihiasi gambar-gambar.
Di Melolo, Sumba banyak ditemukan periuk belanga yang ternyata berisi tulang belulang manusia.
 

Imperialisme & Politik Kolonial Barat


Sejarah dan Arti Imperialisme
Kata Imperialisme berasal dari bahasa latin yaitu ”Imperium”  yang berarti perintah. Istilah tersebut pertama kali digunakan oleh Inggris pada tahun 1870 dan 1855. Secara istilah Imperialisme berarti sebagai suatu usaha untuk memperoleh hubungan yang erat antara bagian-bagian kerajaan Inggris dengan negeri induk, baik hubungan cultural maupun mengadakan perjanjian politik dan  militer. Dalam perkembanganya kata Imperialisme mengalami perubahan arti dari semula yang berarti “ Perintah” menjadi “ Hak memerintah” atau “kekuasaan memerintah” dan berubah lagi menjadi daerah dimana kekuasaan memerintah itu dilakukan. Adapun tujuan dari Imperialisme pada awalnya ada 3 macam yaitu: Gold, Glory, Gospel. (Mencari kekayaan, Menyebarkan Agama dan kejayaan).

Imperialisme yang pertama kali dilakukan oleh bangsa barat pada abad  16. Adapun Imperialisme pada saat itu dibagi dalam 2 hal yaitu: Imperialisme tua (kuno) dan Imperialisme moderen. Imperialisme kuno dilakukan dengan cara melakukan penaklukan penaklukan negara dan bangsa lain untuk menjamin perdaganganya. Untuk kegunaanya imperialisme kuno hanya mengambil barang mentah tanpa menyajikan balasan barang jadi pada negeri jajahan. Imperialisme juga banyak dilakukan dengan expansi expansi ke negara lain. Adapun  yang menjadi pelopor dari Imperialisme kuno adalah negara Portugis dan Spanyol. Sasaran mereka adalah negara-negara dikawasan Asia, Australia, dan Amerika.

Sedangkan Imperialisme moderen yang dipelopori oleh Inggris yang telah berhasil dengan Revolusi Industrinya dan diikuti oleh negara-negara kapitalis lainya seperti Jepang dan Amerika Serikat. Imperialisme moderen dilakukan untuk memenuhi kebutuhan industri dan modalnya yang surplus dengan cara exploitasi dan penetrasi kebudayaan. Setelah berkembangbya nasionalisme berkobar di luar Eropa, imperialisme moderen bersembunyi dalam bentuk: Protecktorat, Domonion, Negara mandap, dan negara negara boneka. Dalam Imperialisme moderen maka yang diambil adalah barang mentah tetapi setelah itu disajikan pula barang dalam bentuk jadi kepada negara jajahan. Dalam bahasa mudahnya dalam Imperialisme moderen negara yang melakukan Imperialisme menjadikan negara jajahan sebagai negara pemasaran hasil industri yang mengalami surplus. Tujuan pokoknya adalah mempengaruhi dan menguasai ekonomi bangsa lain. Dengan melihat fakta diatas tentunya jelas dan dapat kita simpulkan bahwa pada hakikatnya tujuan imperialisme adalah sama. Tetapi terdapat pula corak corak khusus yang membedakan satu sama lain yaitu:
·         Adanya perbedaan corak politik kolonial. Perbedaan corak politik kolonial yang dilakukan oleh pemerintah kolonial di tanah jajahanya masing-masing.
·         Cara yang dipakai oleh bangsa terjajah untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan yang berbeda-beda juga.
2 hal itu yang membedakan  corak corak khusus imperialisme  yang satu dengan yang lain. Imperialisme moderen yang dipelopori oleh Inggris mencapai kejayaan pada tahun 1885 sampai dengan 1900. dengan adanya Imperialisme yang dilakukan oleh bangsa bangsa barat tentunya juga menimbulkan dampak yang dirasakan oleh bangsa yang terjajah antara lain adalah: Adanya kemiskinan yang terjadi di tanah jajahan, Adanya penderitaan yang tak terhingga di tanah jajahan, Imperialisme juga menyebabkan suatu bangsa yang terjajah mengalami pecah belah dan terbelakang, serta menyebabkan bangsa terjajah kehilangan keppribadian.


Politik Kolonial Barat di Afrika.
Ada bermacam corak ragam politik kolonial barat di Afrika, akan tetapi pada dasarnya tujuan mereka adalah sama yaitu politik pecah belah atau adu domba. Hal ini dilakukan untuk mempermudah didalam usaha untuk tetap menguasai tanah jajahan. Dalam hal ini penulis ingin menyampaikan politik kolonial yang dilakukan oleh Inggris dan Prancis di Afrika. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan kedua negara tersebut yang berhasil mendominasi negara-negara di Afrika.
Politik kolonial yang dilakukan Prancis di Afrika diantaranya : 
Politik Asimilasi/Percampuran
Dalam hal ini orang-orang pribumi di Afrika diperlakukan sama dengan orang Prancis, perlakuan yang sama ini diberikan disegala bidang kehidupan antara lain: Pendidikan, hukum, Sosial ekonomi maupun hak yang sama dalam Parlemen.

Politik Asosiasi
Pada politik ini maka Prancis melebur orang pribumi dan mencetak kembali menjadi orang orang yang berjiwa Prancis.

Politik Devide At Impera
Politik ini dilakukan dengan memecah belah penduduk pribumi sehingga lebih mudah untuk dikuasai.

Politik Conversion au Cristianisme
Politik ini dilakukan dengan cara mengadakan Kristenisasi terhadap penduduk pribumi.
Sedangkan politik yang dilakukan Inggris antara lain adalah:
1.      Pola Politik C. Khodes
Politik kolonial ini dilakukan dengan penekanan kepada kepentingan imperium Inggris atau kepentingan kaum kolonis di koloni.
2.      Pola Politik D. Livingstone.
Pada politik ini menekankan kepada pertanggungan jawab sebagai pembimbing untuk bumi putera.
3.      Sistem pemerintahan In Direct rule
Dalam system pemerintahan ini adalah system pemerintahan tidak langsung yaitu melalui
birokrasi-birokrasi yang ada.
4.      Membiarkan tetap berlangsungnya kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku di tanah jajahan.
5.      Membimbing penduduk di tanah jajahan kearah pemerintahan sendiri yang mandiri secara pelan pelan dan Evolusioner.
Jadi apabila kita bandingkan Politik kolonial dari kedua negara tersebut memang mengalami perbedaan corak, akan tetapi pada dasarnya adalah sama yaitu sama sama dilakukan untuk tetap bisa menguasai wilayah jajahan.
Berbeda dengan di Asia, di Afrika sebagian besar jatuh ke kaum kolonialis dan imperialis tanpa disertai perlawanan yang hebat, walaupun ada juga yang disertai oleh sebuah perlawanan yang hebat yang dilakukan oleh kaum nasionalis yang ada. Akan tetapi sebagian besar negara Afrika jatuh ketanah jajahan akibat dari perjanjian perjanjian yang diadakan antara kaum imperialis sendiri atau kaum imperialis dengan kepala kepala suku yang ada di Afrika.


 
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...